JIT merupakan filosofi pemanufakturan yang memiliki implikasi penting dalam manajemen biaya. Ide dasar JIT sangat sederhana, yaitu berproduksi hanya apabila ada permintaan (Pull System) atau dengan kata lain hanya memproduksi suatu yang diminta, pada saat diminta, dan hanya sebesar kuantitas yang diminta. FIlosofi JIT digunakan pertama kali di Jepang oleh Toyota dan kemudian diadopsi oleh banyak perusahaan manufaktur di Jepang dan Amerika Serikat, seperti Hewlett Packard, IBM, dan Harley Davidson.
Prinsip Dasar JIT adalah meningkatkan kemampuan perusahaan secara terus menerus untuk merespon perubahan dengan meminimasi pemborosan. Terdapat empat aspek pokok dalam konsep JIT, yaitu:
- Menghilangkan semua aktivitas atau sumber-sumber yang tidak memberikan nilai tambah terhadap produk atau jasa.
- Komitmen terhadap kualitas prima.
- Mendorong perbaikan berkesinambungan untuk meningkatkan efisiensi.
- Memberikan tekanan pada penyederhanaan aktivitas dan peningkatan visibilitas aktivitas yang memberikan nilai tambah
Latar Belakang Timbulnya JIT
Sistem Pemanufakturan tradisional mengatur skedul produksinya berdasarkan pada permalan kebutuhan di masa yang akan datang. Padahal tidak ada seorang pun yang dapat memprediksi masa yang akan datang dengan pasti walaupun ia memiliki pemahaman yang sempurna tentang masa lalu dan memiliki insting yang tajam terhadap kecenderungan yang terjadi di pasar.
Produksi berdasarkan prediksi terhadap masa yang akan datang dalam sistem tradisional memiliki risiko kerugian yang lebih besar karena over produksi daripada produksi berdasarkan permintaan sesungguhnya. Oleh karena itu muncullah JIT yang hanya memproduksi apabila ada permintaan. Suatu proses produksi hanya akan memproduksi apabila diisyaratkan oleh proses berikutnya. Sebagai akibatnya pemborosan dapat dihilangkan dalam skala besar, yaitu berupa perbaikan kualitas dan biaya produksi yang lebih rendah. Kedua hal tersebut menjadikan perusahaan lebih kompetitif. Tujuan utama JIT adalah untuk meningkatkan laba dan posisi persaingan perusahaan yang dicapai melalui usaha pengendalian biaya, peningkatan kualitas, serta perbaikan kinerja pengiriman. Tetapi ada satu hal yang perlu selalu diingat yaitu peningkatan daya saing tidak menjamin perusahaan tetap survive (karena persaingan masih ada didepan mata), tetapi tidak memiliki daya saing menjamin dengan pasti terjadinya bencana.
Proses produksi yang digambarkan dalam Tabel berikut ini menjelaskan alasan pergeseran filosofi pemanufakturan ke JIT. Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat empat departemen produksi A, B, C dan D yang harus dilewati dalam proses produksi. Proses produksi dimulai dengan bahan baku pada departemen A dan bergeser sampai departemen D. Ketika produk telah selesai diproses pada departemen D, produk kemudian disimpan dan akhirnya dikirim ke pelanggan.
ELEMEN THROUGHPUT TIME
|
BAHAN BAKU
|
DEPARTEMEN PRODUKSI
|
||||
A
|
B
|
C
|
D
|
TOTAL
|
||
Waktu pemrosesan
|
-
|
0,5
|
0,60
|
0,70
|
0,20
|
2,0
|
Waktu Inspeksi
|
0,15
|
0,20
|
0,15
|
0,20
|
0,30
|
1,0
|
Moving time
|
0,05
|
0,10
|
0,10
|
0,10
|
0,15
|
0,5
|
Waktu tunggu
|
-
|
0,05
|
0,10
|
0,25
|
0,20
|
0,6
|
Waktu simpan
|
2,0
|
0
|
0
|
0
|
3,00
|
5,0
|
Interval waktu dari dimulainya proses produksi sampai produk selesai dan dikirim kepada pelanggan disebut sebagai throughput time. Throughput time ini terdiri dari:
- Waktu pemrosesan (processing time), yakni waktu sesungguhnya yang diperlukan untuk mengerjakan suatu produk. Berdasarkan tabel diatas, waktu pemrosesan yang diperlukan dari departemen A sampai departemen D adalah 2 hari.
- Waktu inspeksi adalah waktu yang diperlukan untuk menginspeksi produk untuk menjamin bahwa produk telah sesuai dengan standar produksi. Inspeksi dilakukan pada setiap departemen produksi dan sebelum proiduk dikirimkan kepada pelanggan. Waktu inspeksi juga meliputi waktu yang diperlukan untuk mengerjakan kembali produk yang kurang memenuhi spesifikasi dan inspeksi ketika bahan baku diterima.
- Moving time adalah waktu yang diperlukan untuk memindahkan produk dari satu departemen ke departemen berikutnya serta waktu yang diperlukan untuk memindahkan produk dari dan ke gudang. Dalam tabel diatas terlihat bahwa moving time memerlukan waktu 5 hari.
- Waktu tunggu, yakni waktu dimana produk berada dala suatu departemen sebelum diproses. Misalnya ketika suatu produk telah selesai diproses di departemen A dan telah diinspeksi, maka produk tersbut dikirim ke departemen B. Tetapi setelah sampai di departemen B, produk tersebut mungkin tidak segera diproses. Dalam contoh pada tabel di atas, waktu tunggu di departemen B selama 1 hari.
- Waktu simpan adalah waktu untuk menyimpan bahan baku, barang dalam proses, dan barang jadi di gudang sebelum digunakan oleh departemen produksi (untuk bahan baku dan barang dalam proses) dan sebelum dikirim ke pelanggan (untuk barang jadi). Dalam tabel diatas diasumsikan bahwa hanya bahan baku dan barang jadi saja yang disimpan selama 5 hari.
Melihat kelima elemen diatas, sebenarnya hanya elemen yang pertama saja yang sungguh-sungguh merupakan produksi aktual dari suatu produk. Dari perspektif produksi pemanufakturan, elemen pertama tersebut dipandang sebagai waktu yang memiliki nilai tambah, sedangkan keempat elemen yang lain sebagai waktu yang tidak memiliki nilai tambah karena tidak ada nilai tambah yang diberikan pada produk ketika produk tersebut tidak diproses. Jadi dalam bentuk rumus dapat disajikan sebagai berikut:
Throughput Time = Processing + Waste Time
(Value Added Time) (Non Value Added Time)
Pada rumus diatas non value added time terdiri dari waktu inspeksi (1 hari), moving time (0,5 hari), waktu menunggu (0,6 hari), dan waktu simpan (5 hari). Jumlahnya 7,1 hari. Sedangkan value added time hanya terdiri dari 2 hari. Jadi throughput time-nya selama 9,1 hari. Dari studi yang dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan manufaktur diperoleh hasil bahwa waktu pemrosesan memiliki porsi yang kecil dari throughput time (10%).
Throughput Time = Processing + Waste Time
(Value Added Time) (Non Value Added Time)
Pada rumus diatas non value added time terdiri dari waktu inspeksi (1 hari), moving time (0,5 hari), waktu menunggu (0,6 hari), dan waktu simpan (5 hari). Jumlahnya 7,1 hari. Sedangkan value added time hanya terdiri dari 2 hari. Jadi throughput time-nya selama 9,1 hari. Dari studi yang dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan manufaktur diperoleh hasil bahwa waktu pemrosesan memiliki porsi yang kecil dari throughput time (10%).
Filosofi JIT mengidentifikasi
penyebab non value added time dan mengimplementasikan strategi untuk meminimasi
throughput time. Secara ekstrim bila semua non value added time dapat
dihilangkan, maka throughput time akan sama dengan waktu pemrosesan. Adapun
strategi tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Waktu inspeksi dapat dikurangi dengan meningkatkan
kualitas. Penghapusan waktu inspeksi memerlukan adanya komitmen terhadap
program total
quality atau zero defect. akan tetapi komitmen
terhadap total
quality saja
tidak cukup, perusahaan harus bekerja sama dengan pemasok untuk menjamin bahwa
pemasok akan memberikan bahan baku yang sesuai dengan spesifikasi yang dipesan.
2.
Pengurang moving
time dapat
dilakukan dengan mendesain layout pabrik sedemikian rupa sehingga
departemen-departemen berdekatan secara fisik. Selain itu produk juga harus
didesain sedemikian rupa sehingga hanya memerlukan lebih sedikit perpindahan
dalam proses produksinya.
3.
Waktu tunggu dapat dikurangi dengan melakukan
koordinasi yang lebih baik di antara departemen produksi. Secara ekstrim, bila
suatu departemen produksi menerima produk dari departemen lain pada waktu yang
tepat (JIT), maka departemen tersebut akan dapat dengan segera mengerjakan
produk sehingga waktu tunggu menjadi nol. Cara lain untuk mengurangi waktu
tunggu adalah desain produk dan peralatan pabrik yang lebih baik untuk
mengurangi waktu set up. Waktu set up adalah waktu yang diperlukan untuk
memodifikasi peralatan pada perusahaan yang memproduksi beberapa produk dimana
setiap departemen produksi memproses setiap produk.
4.
Waktu simpan dapat dikurangi dengan beberapa cara,
antara lain bekerja sama dengan pemasok untuk menjamin bahwa bahan baku akan
diberikan tepat waktu dan sesuai dengan spesifikasi yang diminta serta
melakukan koordinasi yang lebih baik di antara departemen produksi sehingga
akan mengurangi waktu penyimpanan barang dalam proses.
Manfaat-manfaat JIT
JIT bukan hanya sekedar metode
pengendalian sediaan, tetapi juga merupakan sistem produksi yang saling
berkaitan dengan semua fungsi dan aktivitas. Manfaat JIT antara lain:
1.
Mengurangi biaya tenaga kerja langsung dan tidak langsung
sebagai akibat adanya penghapusan kegiatan seperti penyimpanan sediaan.
2.
Mengurangi ruangan atau gudang untuk penyimpanan
barang.
3.
Mengurangi waktu setup dan penundaan jadwal produksi.
4.
Mengurangi pemborosan barang rusak dan barang cacat
dengan mendeteksi kesalahan pada sumbernya.
5.
Mengurangi lead time karena ukuran lot yang kecil
sehingga sel produksi lebih dapat memberikan feedback terhadap masalah
kualitas.
6.
Penggunaan mesin dan fasilitas secara lebih baik
dengan pemasok.
7.
Layout pabrik yang lebih baik.
8.
Integrasi dan komunikasi yang lebih baik di antara
fungsi-fungsi, seperti pemasaran, pembelian dan produksi.
9.
Pengendalian kualitas dalam proses.
Sedangkan sasaran implementasi JIT
pada dasarnya terdiri dari:
1.
Sediaan
2.
Cycle time
3.
Perbaikan yang berkesinambungan
4.
Penghapusan pemborosan
Persyaratan-persyaratan JIT
Terdapat beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi dalam penerapan JIT, yaitu dibutuhkannya pelatihan
keterampilan-ketereampilan baru:rasionalisasi alur produksi menjadi pull
system; pemberdayaan operator agar memanfaatkan karakteristik visibilitas JIT;
pencegahan timbulnya kemacetan melalui TPM, studi kemampuan proses, SPC dan
perbaikan berkesinambungan;ukuran lot yang kecil dan waktu setup yang singkat;
serta hubungan kerja yang dekat dengan pemasok superior.
1.
Organisasi pabrik, Layout pabrik dengan JIT memiliki
perbedaan dengan layout pabrik yang terapkan dengan sistem tradisional karena
layout pabrik dengan JIT berusaha mengatur layout berdasarkan produk. Semua
produk yang diperlukan untuk membuat produk tertentu diletakkan dalam satu
lokasi. Serta dalam pelaksanaannya menggunakan kanban, maka tidak ada waktu
untuk antri sebelum diproses, sehingga waktu siklus dalam JIT kurang dari
setengah dari waktu siklus yang sama dalam sistem tradisional.
2.
Pelatihan/Tim/Ketrampilan, JIT memerlukan tambahan
pelatihan yang lebih banyak bila dibandigkan dengan sistem tradisional karena
karyawan akan menghadapi perubahan yang dilakukan sistem tradisional ,
bagaimana cara kerja JIT, apa yang diharapkan dari JIT, dan bagaimana akibat
JIT. Pelatihan secara mendalam mengenai kanban, perbaikan proses, dan alat-alat
statistik seharusnya diberikan.
3.
Membentuk Aliran/ Penyederhanaan, Idealnya suatu lini
produksi yang baru dapat disetup sebagai batu ujian untuk membentuk aliran
produksi, menyeimbangkan aliran tersebut, dan memecahkan masalah awal. Lini
produksi harus dapat menyesuaikan dengan pekerjaan. Apakah terdapat ruang cukup
tetapi tidak terlalu besar? Dapatkah operator berkomunikasi dengan mudah?
Apakah setupnya logis dan sederhana? dapatkah perubahan-perubahan yang dibuat
menjadikannya lebih baik?
4.
Kanban Pull System, Bersamaan dengan perancangan sel
kerja, skema kanban seharusnya dibuat. Rencana kanban perlu dibuat berdasarkan
aplikasi, karena tidak ada sistem kanan yang tunggal, terbaik, dan dapat
diaplikasikan secara universal. Kanban merupakan sistem manajemen atau
pengendalian perusahaan, karena itu kanban memiliki beberapa aturan yang perlu
diperhatikan yaitu jangan mengirim produk rusak ke proses berikutnya, proses
berikutnya hanya mengambil apa yang dibutuhkan pada saat dibutuhkan,
memproduksi hanya sejumlah yang diambil oleh proses berikutnya, meratakan beban
produksi, menaati instruksi kanban pada saat fine tuning,melakukan stabilisasi
dan rasionalisasi proses.
5.
Visibilitas/ Pengendalian Visual, Dalam JIT mudah
diketahui apakah proses produksi berjalan normal atau memiliki masalah. Visual
scan yang cepat dapat memperlihatkan adanya kemacetan atau kelebihan kapasitas.
JIT mendukung digunakannya papan informasi agar para pekerja mengetahui
informasi mengenai status, maslah, kualitas dan lain-lain. Apabila ditemukan
masalah maka tim akan mengatasinya (karena informasi terbuka). Apabila masalah
tersebut berada diluar kemampuan tim, maka orang lain yang ahli atau berwenang
akan mengatasinya dengan cepat. Dengan demikian perbaikan proses dalam JIT
mudah dan cepat.
6.
Eleminasi kemacetan (Bottleneck), Dalam pabrik JIT
semua proses bisa menjadi sumber kemacetan potensial. Hal ini dikarenakan dalam
JIT hanya terdapat sedikit kapasitas lebih dan tidak ada persediaan besi
(buffer stock) sebagai cadangan bila mesin atau proses berhenti/mati. Untuk
mengatasi hal tersebut , maka semua proses dalam JIT terus menerus diteliti
dengan cermat dan seksama. Oleh karena setiap proses harus diperhatikan dengan
teliti, maka operator proses memainkan peranan utama dalam pemeliharaan,
pemantauan dan penyempurnaan proses.
7.
Ukuran Lot Kecil dan Pengurangan Waktu Setup,
Pemanufaktur Jepang (dipelopori oleh Toyota dan Taichi Ohno) menyimpulkan bahwa
ukuran lot yang ideal bukan yang terbesar, tetapi ukuran lot yang terkecil.
Pendekatan ini sesuai bila mesin-mesin digunakan untuk menghasilkan berbagai
bagian atau komponen yang berbeda, yang kemudian digunakan proses berikutnya
dalam tahap produksi. Pemanufakturan JIT juga menghasilkan waktu setup yang
relatif singkat, bahkan hanya dalam beberapa menit. Manfaat utama dari waktu
setup yang singkat dan ukuran lot yang kecil adalah orientasi pelanggan,
fleksibilitas pemanufakturan, kualitas yang lebih tinggi, dan biaya yang lebih
rendah.
8.
Total Productive Maintenance, TPM merupakan suatu
keharusan dalam sistem JIT. Mesin-mesin dibersihkan dan diberi pelumas secara
rutin, biasanya dilakukan oleh operator yang menjalankan mesin tersebut. Tugas
pemeliharaan preventif yang lebih teknis dikerjakan oleh para pakar pada jangka
waktu tertentu. Mesin-mesin diupgrade dan dimodifikasi terus menerus agar dapat
mengurangi batas toleransi, mempercepat setup, dan mengurangi
penyetelan/penyesuaian.
9.
Kemampaun Proses, Statistical Process Control (SPC),
dan Perbaikan berkesinambungan harus ada dalam pemenufakturan JIT, karena
beberapa hal. pertama, segala sesuatunya harus bekerja sesuai dengan harapan
dan mendekati sempurna. Kedua, dalam JIT tidak ada persediaan besi sebagai
cadangan untuk kemacetan atau proses. Alasan ketiga yaitu bahwa semua proses
dengan mesin dan orangnya harus beroperasi dalam kondisi prima sepanjang waktu.
10. Pemasok,
dalam hal pemasok JIT memiliki prioritas yang berbeda dengan sistem produksi
tradisional. Perbedaan yang paling nyata adalah JIT membutuhkan komponen,
supplies, dan bahkan bahku dalam jumlah sedikit tetapi dalam frekuensi yang
tinggi. Sedangkan sistem produksi tradisional membutuhkan dalam jumlah sangat
besar tetapi dalam frekuensi rendah. Oleh karena itu dalam JIT, pemilihan
pemasok merupakan hal yang sangat penting. Pemasok harus dapat menyediakan apa
yang diperlukan dalam jumlah yang tepat pada saat dibutuhkan.
Sumber : Tjiptono, Fandy & Anastasia Diana, Total
Quality Management. 2001. Yogyakarta: ANDI